Bebas Akses
Dalam sepekan ini terdapat berita dan informasi perpajakan di Indonesia yang menarik dan penting antara lain :
Penerimaan Pajak
Kemenkeu mencatat penerimaan pajak hingga April 2025 mencapai Rp.557,1 triliun atau setara 25,4% terhadap APBN 2025 dan turun 10,8% dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebanyak Rp.624,2 triliun. Hal tersebut dalam paparan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2026 dalam Sidang Paripurna DPR RI. APBN hingga April 2025 mencatat surplus sebesar Rp.4,3 triliun atau 0,02% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Surplus ini dikarenakan pendapatan negara tercatat sebesar Rp.810,5 triliun atau lebih tinggi dibandingkan belanja negara sebesar Rp.806,2 triliun.
Dirjen Baru Pajak dan Bea Cukai
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani resmi melantik dua direktur jenderal (dirjen) baru di lingkungan Kemenkeu yaitu Bimo Wijayanto sebagai dirjen pajak, menggantikan Suryo Utomo dan Letjen TNI (Purn) Djaka Budi Utama sebagai dirjen bea cukai, menggantikan Askolani. Bimo Wijayanto adalah alumnus Taruna Nusantara yang kini menjabat Sekretaris Deputi Bidang Kerja Sama Ekonomi dan Investasi di Kemenko Perekonomian. Ia pernah menjadi Asisten Deputi Investasi Strategis di Kemenko Maritim dan Investasi serta Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden. Sedangkan, Letjen Djaka Budi Utama saat ini menjabat Sekretaris Utama BIN. Sebelumnya, ia berkarier di militer, termasuk sebagai Irjen Kemhan, Asintel Panglima TNI, dan Deputi Kemenko Polhukam. Djaka juga pernah tergabung dalam Tim Mawar dan menjalani hukuman 16 bulan penjara terkait kasus penculikan aktivis pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto.
Bea Cukai
Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyambut positif pergantian Direktur Jenderal Bea Cukai kepada Letjen Djaka Budi Utama. GAPPRI berharap pejabat baru dapat menjaga keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) legal di tengah tekanan regulasi yang ketat dan penurunan penerimaan cukai. GAPPRI, yang menaungi pabrik rokok kretek dengan pangsa pasar 70% produksi nasional, menyoroti tantangan berat yang dihadapi industri, terutama karena lebih dari 500 regulasi fiskal dan non-fiskal yang dianggap tidak selaras dan cenderung menguntungkan industri asing melalui FCTC-WHO. GAPPRI juga mengkritik PP Nomor 28 Tahun 2024, khususnya pembatasan kandungan nikotin dan tar yang dianggap merugikan produsen lokal dan petani tembakau, serta aturan bahan tambahan yang bisa menghilangkan ciri khas rokok kretek. Demikian, GAPPRI mendukung pemberantasan rokok ilegal dan berharap dapat berdiskusi dengan Dirjen Bea Cukai yang baru untuk mencari solusi menjaga pendapatan negara sekaligus keberlangsungan industri tembakau nasional.
Bea Ekspor
Kemenkeu resmi menaikkan tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dari sebelumnya 7,5% menjadi 10%. Kebijakan ini diatur dalam PMK Nomor 30 Tahun 2025 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Pada Kementerian Keuangan yang berlaku mulai 17 Mei 2025. Adapun, tarif pungutan ekspor yang ditetapkan yaitu 10% dari harga referensi CPO kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. Selain itu, tarif pungutan ekspor sebesar 10% juga dikenakan pada produk :
Tax Buoyancy
Kinerja perpajakan Indonesia menunjukkan tren pelemahan dengan penurunan signifikan pada indikator tax buoyancy, yang mengukur elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Tax buoyancy turun dari 1,94 pada 2021 menjadi 0,71 pada 2024 dan bahkan tercatat minus 3,71 pada kuartal I 2025, artinya setiap kenaikan 1% PDB justru diikuti penurunan penerimaan pajak lebih dari tiga kali lipat. DJP Kemenkeu merespons dengan berbagai langkah strategis, termasuk perluasan basis pajak, penegakan hukum, reformasi struktural, dan pemberian insentif untuk mendorong ekonomi bernilai tambah. Namun, tax buoyancy di bawah 1 menandakan penerimaan pajak tumbuh lebih lambat dari ekonomi, yang berdampak pada menurunnya rasio pajak nasional. DJP optimistis kinerja pajak akan membaik meski tantangan masih ada.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Usulan menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp4,5 juta menjadi Rp10 juta per bulan kembali muncul, didukung oleh buruh, pengusaha, dan analis fiskal. Mereka menilai kenaikan ini penting di tengah perlambatan ekonomi dan meningkatnya biaya hidup, karena PTKP yang tidak berubah sejak 2016 sudah tidak mencerminkan kondisi ekonomi saat ini. Data menunjukkan jumlah kelas menengah menyusut, menandakan menurunnya daya beli masyarakat. Pemerintah disarankan menaikkan PTKP secara bertahap sambil mengkaji dampak fiskalnya dan menggabungkan kebijakan ini dengan reformasi perpajakan dan perlindungan sosial. Namun, pemerintah masih berhati-hati karena khawatir penerimaan pajak dari PPh orang pribadi akan berkurang, yang berpotensi memengaruhi pendanaan program prioritas.
Peraturan Baru mengenai Tarif Pungutan Barang Ekspor Kelapa Sawit :
Telah terbit peraturan baru mengenai Tarif Pungutan Barang Ekspor Kelapa Sawit, berdasarkan PMK Nomor 30 Tahun 2025 (PMK 30/2025) Tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Pada Kementerian Keuangan, yang ditetapkan pada 5 Mei 2025 dan berlaku pada 17 Mei 2025. Berdasarkan PMK 30/2025 dijelaskan bahwa :