Bebas Akses

Weekly Tax Summary - 18 Agustus 2025

Oleh Siti
18 August 2025 09:00:00 WIB - 4 menit baca

Dalam sepekan ini terdapat berita dan informasi perpajakan di Indonesia yang menarik dan penting antara lain :   

  1. Penerimaan Negara : Target Penerimaan Negara Naik Pada 2026 Sebesar Rp.3.147,7 Triliun
  2. Penerimaan Pajak :
  • Penerimaan Pajak 2025 Baru 45,51%, Pemerintah Hadapi Tantangan Berat Kejar Target Akhir Tahun
  • 10 Usulan Pajak Baru Untuk Tingkatkan Penerimaan Negara
  1. Tax Ratio : Menteri Keuangan Targetkan Tax Ratio Sebesar 10,47% Pada 2026
  2. Putusan MK : MK Tolak Gugatan UU HPP, Kebijakan Tarif PPN Tetap Berlaku
  3. Pajak Daerah PBB P2 : Kenaikan Drastis Tarif PBB-P2 di Daerah, Akibat Pemangkasan Dana Pusat

Penerimaan Negara

Penerimaan negara tahun 2026 ditargetkan sebesar Rp.3.147,7 triliun atau naik 9,8%, dengan penerimaan pajak ditetapkan mencapai Rp.2.357 triliun atau naik 13,5%. Penerimaan bea cukai ditetapkan Rp.334,3 triliun atau naik 7,7%, sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) turun 4,7% menjadi Rp.455 triliun dikarenakan dividen BUMN kini disetor langsung ke BPI Danantara. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan tidak ada pajak atau tarif baru, melainkan pengembangan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan insentif penerapan Core Tax serta pertukaran data antar lembaga. Reformasi administrasi dan penegakan hukum diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak, bea cukai, dan PNBP lebih lanjut.

Penerimaan Pajak

DJP Kemenkeu mencatat penerimaan pajak hingga 11 Agustus 2025 baru terkumpul Rp.996 triliun atau 45,51% dari target APBN 2025 sebesar Rp.2.189,3 triliun atau turun 16,72% jika dibandingkan dengan periode sama pada tahun sebelumnya. Realisasi ini menunjukkan tantangan besar bagi pemerintah untuk mengejar target penerimaan dalam 4 (empat) bulan tersisa, apalagi belanja negara harus tetap berjalan untuk program prioritas. Pada akhir Juni 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp.831,3 triliun atau 38% dari target yang mengalami penurunan 7,51% tahun ke tahun yang berarti dalam 1,5 bulan hanya bertambah Rp.165,2 triliun. Maka, Untuk mencapai target penerimaan pemerintah harus mengumpulkan Rp.1.192,8 triliun dalam waktu tersebut.

Disisi lain, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan potensi bisa menambah penerimaan negara hingga Rp.524 triliun/tahun melalui 10 pungutan pajak baru dan peninjauan ulang insentif pajak. Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menekankan pentingnya pengenaan pajak progresif yang adil, menargetkan korporasi besar dan individu super kaya yang selama ini luput dari pajak, dengan potensi tambahan Rp.469 triliun – Rp.529 triliun per tahun. Peninjauan insentif pajak yang tidak tepat sasaran juga bisa menambah Rp.137,4 triliun, tanpa menambah beban bagi masyarakat kalangan bawah. Berikut ini 10 (sepuluh) pajak yang diusulkan meliputi :

  1. Pajak kekayaan, dengan tarif 2% berpotensi Rp.81,6 triliun dari 50 orang terkaya di Indonesia.
  2. Pajak karbon pada sektor industry, berpotensi mencapai Rp.74,4 triliun.
  3. Pajak produksi batu bara, berpotensi mencapai Rp.66,5 triliun.
  4. Pajak windfall profit sektor ekstraktif, berpotensi mencapai Rp.50 triliun.
  5. Pajak penghilangan keanekaragaman hayati, berpotensi mencapai Rp.48,6 triliun.
  6. Pajak digital, berpotensi mencapai Rp.29,5 triliun.
  7. Peningkatan tarif pajak warisan yang berpotensi mencapai Rp.20 triliun.
  8. Pajak kepemilikan rumah ketiga, berpotensi mencapai Rp.4,7 triliun.
  9. Pajak keuntungan (capital gain) atas saham dan aset finansial, dengan potensi mencapai Rp.7 triliun.
  10. Cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), berpotensi mencapai Rp.3,9 triliun.

Tax Ratio

Menteri Keuangan Sri Mulyani menargetkan tax ratio atau rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 10,47% pada 2026. Angka ini tertinggi sejak 2022 namun masih jauh dari target Presiden Prabowo Subianto yang ingin mencapai 16%. Target ini disampaikan dalam paparan RAPBN 2026 dengan penerimaan pajak yang diharapkan tumbuh 13,5% menjadi Rp.2.357,7 triliun. Pemerintah akan melanjutkan reformasi perpajakan melalui sistem Coretax, pertukaran data lintas kementerian, pengembangan pajak digital, dan pengawasan terpadu. Dalam Undang-Undang No. 59/2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025—2045 (UU RPJPN), rasio pajak ditargetkan mencapai 18%—20% pada 2045. Sementara, saat ini rasio pajak Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang mencapai 16%-18%. Upaya efisiensi pengelolaan anggaran dan perluasan wajib pajak menjadi kunci untuk meningkatkan rasio pajak dan mendukung keberlanjutan APBN.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan Nomor 11/PUU-XXIII/2025 dalam uji materiil atas pasal-pasal UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) terkait tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Permohonan yang diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat yang terdampak, seperti penyandang disabilitas, mahasiswa, ojek online, nelayan, dan pelaku UMKM. Dengan persoalan penghapusan sejumlah barang kebutuhan pokok dan jasa pendidikan, kesehatan, serta angkutan umum dari daftar barang yang tidak dikenai PPN, juga keberatan terhadap kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%. MK menilai dalil pemohon tidak berdasar dan tidak ada ketidakpastian hukum dalam ketentuan tersebut. MK mendukung bahwa fleksibilitas penetapan tarif PPN antara 5% hingga 15% diperlukan untuk kebutuhan pembiayaan negara dan disetujui oleh DPR, sehingga menolak permohonan tersebut. Putusan ini dianggap melegitimasi kebijakan PPN yang dianggap tidak berkeadilan oleh para pemohon, khususnya bagi kelompok ekonomi lemah, tapi MK tetap berpandangan perubahan tarif PPN penting bagi penerimaan negara.

Pajak Daerah – PBB P2

Pakar otonomi daerah menilai kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah dipicu masalah fiskal akibat pemangkasan signifikan dana transfer dari pemerintah pusat yang sangat mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih bergantung pada Dana Transfer ke Daerah (TKD), baik Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Banyak kepala daerah baru mewarisi APBD lama sekaligus menghadapi penyusutan alokasi dana hingga ratusan miliar rupiah, sehingga terpaksa menaikkan pajak daerah, termasuk PBB-P2, secara cepat tanpa kajian mendalam dan minim pelibatan publik. Meski Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 memberi kewenangan daerah mengatur NJOP dan tarif pajak, keputusan ini seharusnya mempertimbangkan kondisi ekonomi makro, daya beli, kemiskinan, dan pengangguran setempat. Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) menegaskan kenaikan PBB-P2 adalah kebijakan otonom daerah dan tidak terkait dengan efisiensi anggaran pemerintah pusat. Kebijakan ini memicu protes warga di beberapa daerah karena kenaikan yang signifikan dan dampaknya pada beban masyarakat.

Komentar Pembaca