Bebas Akses

Weekly Tax Summary - 14 Juli 2025

Oleh Siti
14 July 2025 09:00:00 WIB - 5 menit baca

Dalam sepekan ini terdapat berita dan informasi perpajakan di Indonesia yang menarik dan penting antara lain :   

  1. Tax Ratio : Tax Ratio 2025 Turun Lagi, Pemerintah Siapkan Strategi Dongkrak Penerimaan Pajak
  2. Penerimaan Pajak Daerah : Pendapatan Pajak Daerah Turun 8% di Semester I-2025, Pemerintah Perkuat Strategi Fiskal
  3. PPN : DJP Terapkan 4 Jenis Baru SPT Masa PPN Mulai Januari 2025, Dorong Transformasi Digital Coretax
  4. Bea Masuk : Pemerintah Akan Siapkan Bea Masuk Impor Singkong dan Tapioka untuk Lindungi Petani Lokal
  5. Perdagangan Internasional :
  • Trump Tegaskan Ancaman Tarif Impor AS Naik, Indonesia Kena 32% Mulai Agustus 2025
  • AS Akan Kenakan Tarif 32% Untuk Produk Indonesia, Negosiasi Investasi Jadi Kuncinya
  • Trump Hentikan Subsidi Energi Terbarukan, Fokus Amankan Pasokan Energi Stabil

Tax Ratio

Rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia diperkirakan kembali turun pada 2025 menjadi 10,03%. Hal ini berdasarkan data kemenkeu bahwa tax ratio Indonesia tercatat sebesar 10,38% pada 2022, turun menjadi 10,31% pada 2023, kembali melemah pada tahun 2024 menjadi 10,08% dan outlook untuk 2025 bahkan lebih rendah lagi, yakni hanya 10,03%. Penurunan ini mencerminkan dinamika kompleks, termasuk proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi namun pertumbuhan penerimaan pajak yang tidak sebanding. Meski demikian, pemerintah menegaskan komitmennya untuk meningkatkan tax ratio secara bertahap melalui reformasi sistem administrasi perpajakan, perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan sukarela, penegakan hukum yang adil, serta koordinasi lintas instansi, dengan harapan tax ratio dapat membaik secara berkelanjutan di masa mendatang.

Penerimaan Pajak Daerah

Pada semester I-2025, realisasi pendapatan pajak daerah secara nasional mengalami penurunan, hingga akhir Juni 2025 pendapatan pajak daerah hanya mencapai Rp.107,7 triliun atau turun 8,06% secara tahunan (year-on-year/yoy) dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp.117,16 triliun. Penurunan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti dinamika global dan regional yang berdampak pada aktivitas pemungutan pajak daerah, serta perubahan mendasar dalam UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). Meski demikian, tidak semua daerah mengalami penurunan—beberapa provinsi dan kabupaten/kota justru mencatat pertumbuhan pendapatan pajak, menandakan adanya ketimpangan kesiapan antar daerah dalam mengelola perpajakan. Tantangan utama yang dihadapi adalah belum meratanya visi dan strategi fiskal di tingkat daerah untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga kemandirian fiskal daerah masih perlu diperkuat.

SPT Masa PPN
DJP telah menetapkan klasifikasi baru untuk Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN yang mulai berlaku sejak Januari 2025, seiring implementasi sistem administrasi perpajakan terbaru, Coretax. Berdasarkan PMK Nomor 81 Tahun 2024 dan PER DJP Nomor PER-1/PJ/2025 serta PER-12/PJ/2025, terdapat 4 (empat) jenis SPT Masa PPN yang menggantikan formulir lama, yaitu:

  1. SPT Masa PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk melaporkan penghitungan PPN, PPnBM, pengkreditan pajak masukan, dan pelunasan pajak, termasuk PKP yang ditunjuk sebagai pemungut PPN.
  2. SPT Masa PPN bagi PKP yang menggunakan pedoman khusus penghitungan pengkreditan pajak masukan dengan omzet tertentu, termasuk masa sebelum dikukuhkan sebagai PKP.
  3. SPT Masa PPN bagi pemungut PPN dan pihak lain yang bukan PKP, yaitu bagi instansi atau badan yang ditunjuk sebagai pemungut PPN meskipun bukan PKP, serta pihak lain di Indonesia dengan kewajiban serupa, serta
  4. SPT Masa PPN bagi pemungut PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), untuk pelaku usaha PMSE luar negeri yang ditunjuk sebagai pemungut PPN di Indonesia, dengan formulir dalam bahasa Indonesia dan/atau Inggris.

Jenis baru ini menggantikan jenis-jenis SPT sebelumnya seperti formulir 1111, 1117 DM, 1107 PUT, dan SPT Unifikasi untuk instansi pemerintah. Perubahan ini mendukung transformasi digital dan integrasi pelaporan perpajakan dalam coretax, sekaligus menyesuaikan dengan perkembangan model bisnis baru seperti e-commerce lintas negara.

Bea Masuk
Pemerintah Indonesia berencana mengenakan tarif bea masuk pada impor singkong dan tapioka sebagai upaya menekan impor yang berlebihan dan melindungi petani lokal yang mengalami kerugian akibat harga singkong anjlok. Kebijakan ini masih dalam tahap pembahasan di rapat koordinasi antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sehingga belum ada keputusan final. Penurunan harga singkong disebabkan oleh melimpahnya pasokan yang tidak terserap pabrik tapioka, yang juga kesulitan bersaing dengan tapioka impor yang lebih murah dan bebas bea masuk. Penyebab utama harga singkong anjlok adalah kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) singkong menjadi Rp 1.350/kg, yang membuat harga jual lebih mahal dan memberatkan produsen tapioka. Namun, jika harga singkong dibiarkan turun, petani akan mengalami kerugian. Pengenaan bea masuk diharapkan dapat memaksimalkan produksi dalam negeri serta memperbaiki kesejahteraan petani singkong dan produsen tapioka lokal

Perdagangan Internasional

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, mengancam akan menaikkan tarif impor bagi negara-negara mitra dagangnya yang belum mencapai kesepakatan baru dengan AS. Mulai 1 Agustus 2025, tarif baru akan diberlakukan jika negosiasi tidak selesai tepat waktu. Indonesia menerima surat resmi dari Gedung Putih yang menyatakan bahwa semua produk ekspor Indonesia ke AS akan dikenakan tarif sebesar 32%. Tarif ini lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang dikenakan 25%, namun lebih rendah dibandingkan Myanmar dan Laos yang mencapai 40%, serta Thailand dan Kamboja sebesar 36%. Pemerintah Indonesia hingga kini belum memberikan tanggapan resmi terkait kebijakan tersebut. Selain Indonesia, Jepang dan Korea Selatan juga akan dikenakan tarif sebesar 25% mulai tanggal yang sama. Uni Eropa terancam tarif hingga 50% jika negosiasi gagal, meskipun saat ini masih dalam proses perundingan dengan AS. Beberapa negara seperti Inggris dan Vietnam sudah berhasil mencapai kesepakatan dengan AS sehingga terhindar dari kenaikan tarif yang tinggi. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi Trump untuk menekan mitra dagang agar mempercepat negosiasi dan mencapai kesepakatan baru dengan Amerika Serikat.

Kemudian, Amerika Serikat akan memberlakukan tarif impor tambahan sebesar 32% untuk seluruh produk Indonesia mulai 1 Agustus 2025 tersebut sebagai respons atas defisit perdagangan yang dianggap tidak seimbang dan kebijakan tarif serta hambatan non-tarif dari Indonesia. Presiden AS Donald Trump menyatakan tarif ini sebagai langkah awal untuk memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan, sekaligus membuka peluang negosiasi jika Indonesia atau perusahaan Indonesia bersedia berinvestasi dan membangun fasilitas produksi di AS. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terus berupaya melakukan negosiasi dan memperkuat kemitraan strategis dengan AS, termasuk komitmen pembelian produk unggulan AS senilai US$34 miliar, guna menjaga hubungan perdagangan yang adil dan berkelanjutan. Tarif ini berdiri di luar tarif sektoral yang sudah berlaku dan juga akan dikenakan pada barang re-ekspor yang mencoba menghindari bea masuk tinggi.

Disisi lain, Presiden AS Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang mengakhiri subsidi dan insentif pajak untuk proyek energi terbarukan berbasis angin dan surya, memperkuat ketentuan dalam Undang-Undang "One Big Beautiful Bill" yang menghapus insentif tersebut mulai 2027 bagi proyek baru. Trump beralasan energi terbarukan tidak andal, mahal, bergantung pada rantai pasok asing, dan merugikan lingkungan serta jaringan listrik nasional. Perintah ini memerintahkan Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri untuk menghapus insentif dan meninjau kebijakan energi terbarukan, dengan laporan tindakan dalam 45 hari. Kebijakan ini mendukung prioritas energi fosil dan menandai perubahan besar dalam arah kebijakan energi AS, yang juga memicu kekhawatiran terkait masa depan energi bersih di negara tersebut.

Komentar Pembaca