Bebas Akses
Dalam sepekan ini terdapat berita dan informasi perpajakan di Indonesia yang menarik dan penting antara lain :
Penerimaan Pajak
Realisasi setoran pajak neto hingga semester I-2025 mencapai Rp.831,27 triliun, masih di bawah target APBN sebesar Rp.2.189,3 triliun untuk tahun 2025. Penurunan penerimaan terutama terjadi pada Januari 2025 yang turun 41,9% atau hanya Rp.88,9 triliun akibat restitusi pajak besar di awal tahun. Namun, penerimaan mulai membaik pada Maret dan April, meski Mei kembali mengalami kontraksi karena restitusi, dan Juni mulai positif setelah penyesuaian dari Direktorat Jenderal Pajak. Adapun rincian penerimaan pajak neto hingga Juni 2025 meliputi:
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pola fluktuasi penerimaan pajak ini konsisten setiap tahun dan optimis semester dua akan stabil, mengingat pajak adalah tulang punggung penerimaan negara.
Pajak Trump
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mendorong pengesahan RUU besar yang mencakup pemangkasan pajak senilai US$3,8 triliun terutama bagi konglomerat dan korporasi, sekaligus memangkas anggaran tunjangan sosial seperti Medicaid dan bantuan pangan untuk kelompok berpenghasilan rendah dengan syarat kerja ketat dan biaya tambahan. RUU ini juga mengalokasikan dana besar untuk pertahanan nasional, pembangunan tembok perbatasan, dan kebijakan deportasi imigran. Meski menguntungkan kaum kaya dan menimbulkan kontroversi karena berpotensi memperlebar kesenjangan sosial, Trump optimis RUU ini bisa disahkan sebelum 4 Juli 2025. Selain itu, Trump mulai membuka kemungkinan menaikkan pajak bagi orang kaya sebagai bagian dari strategi menyeimbangkan anggaran negara.
Pajak atas Rokok, Alkohol, dan Minuman Manis
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan kenaikan harga rokok, alkohol, dan minuman manis hingga 50% dalam 10 tahun ke depan melalui mekanisme pajak. Langkah ini bertujuan menekan konsumsi produk yang berkontribusi pada penyakit tidak menular seperti diabetes, kanker, dan penyakit jantung, sekaligus meningkatkan penerimaan negara yang diperkirakan mencapai US$1 triliun pada 2035. WHO menilai pajak kesehatan sebagai alat paling efektif untuk menyelamatkan nyawa dan mendukung sektor kesehatan, pendidikan, serta perlindungan sosial. Inisiatif ini, yang disebut "3 by 35", didukung oleh bukti keberhasilan penerapan pajak serupa di negara seperti Kolombia dan Afrika Selatan. WHO juga mempertimbangkan perluasan kebijakan pajak ke makanan ultra-proses tinggi gula dan garam yang turut memperparah beban penyakit metabolik global.
Pajak Daerah – Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperluas objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk mencakup jasa kesenian dan hiburan, khususnya fasilitas olahraga permainan. Perluasan ini ditetapkan melalui Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025 merupakan perubahan kedua atas Keputusan Nomor 854 Tahun 2024. Dalam aturan terbaru tersebut diteken oleh Kepala Bapenda pada 20 Mei 2025 dengan sejumlah fasilitas olahraga permainan ini dikategorikan sebagai objek pajak hiburan. Maka, pelaku usaha yang menyediakan fasilitas tersebut diwajibkan memungut dan menyetorkan PBJT sebesar 10% sesuai ketentuan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024. Berikut ini beberapa jenis olahraga termasuk dalam objek pajak hiburan meliputi :
Kebijakan ini diambil untuk menyesuaikan dengan perkembangan pesat sektor olahraga di Jakarta dan bertujuan meningkatkan penerimaan pajak daerah. Akibatnya, pengelola tempat olahraga harus menyesuaikan sistem pembukuan dan pelaporan pajak, serta kemungkinan menyesuaikan harga layanan kepada konsumen.
Kemudian, fasilitas olahraga padel kini dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10% sebagai pajak daerah, berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025 yang merevisi aturan sebelumnya. Pajak ini dipungut dari penyewaan lapangan dan jasa terkait oleh penyedia fasilitas, lalu disetorkan ke kas daerah sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan keadilan pajak dikarenakan olahraga lain seperti bulutangkis, tenis, dan biliar juga dikenakan pajak hiburan serupa. Gubernur DKI Jakarta menegaskan bahwa pajak ini wajar karena sebagian besar pemain padel berasal dari kalangan mampu, dan pajak tersebut digunakan untuk kepentingan publik. Dengan demikian, pengelola fasilitas padel wajib menyesuaikan sistem pembukuan dan pelaporan pajak sesuai ketentuan yang berlaku. DJP pun memberikan contoh studi kasus untuk pajak pusat misalnya PPh, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet sampai dengan Rp.500 juta per tahun tidak dikenai PPh. Sedangkan, studi kasus dari pajak daerah contohnya seperti PBJT, termasuk di antaranya pengenaan pajak terhadap fasilitas untuk olahraga padel.