Bebas Akses

Weekly Tax Summary - 01 Sept 2025

Oleh Siti
01 September 2025 09:00:00 WIB - 3 menit baca

Dalam sepekan ini terdapat berita dan informasi perpajakan di Indonesia yang menarik dan penting antara lain :   

  1. Penerimaan Pajak : Penerimaan Pajak Nasional Hingga Juli 2025 Baru Mencapai Rp.989,17 Triliun, Jauh Dari Target APBN
  2. Penerimaan Pajak Digital : Penerimaan Pajak Digital Hingga Juli 2025 Capai Rp.40,02 Triliun
  3. Pendapatan Daerah : PAD Pemprov DKI Jakarta Raih Rp.31,52 Triliun Hingga Juli 2025, PBB-P2 Jadi Penyumbang Terbesar
  4. Shadow Economy : Shadow Economy Jadi Sasaran Strategi Pajak 2026
  5. Bea Cukai Minuman Manis : Kebijakan Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan Akan Mulai Berlaku Pada 2026

Penerimaan Pajak

Pemerintah melaporkan penerimaan pajak nasional hingga akhir Juli 2025 baru terkumpul Rp.989,17 triliun dan masih jauh dari target yang ditetapkan dalam APBN 2025. Realisasi ini baru setara 45,18% dari target sebesar Rp 2.189,3 triliun dan juga mengalami penurunan sebesar 5,37% secara neto. Kementerian Keuangan memperkirakan penerimaan pajak hingga akhir tahun 2025 tidak akan mencapai target. Dalam Laporan Semester I-2025, pemerintah memproyeksikan penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp.2.076,9 triliun atau 94,9% dari target APBN, yang diakibatkan tingginya restitusi pajak, pelemahan harga komoditas, dan pembatasan kenaikan tarif PPN 12% hanya pada barang mewah.

Penerimaan Pajak Digital

DJP Kemenkeu sudah mengantongi penerimaan pajak digital per 31 Juli 2025 sebesar Rp.40,02 triliun, yang meliputi 4 (empat) sektor digital yaitu pajak kripto, pajak fintech, PPN PMSE, dan pajak SIPP. Dengan rincian yang telah diterima sebagai berikut :

  1. Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE) : Rp.31,06 triliun
  • 2020: Rp.731,4 milyar
  • 2021: Rp.3,90 triliun
  • 2022: Rp.5,51 triliun
  • 2023: Rp.6,76 triliun
  • 2024: Rp.8,44 triliun
  • 2025: Rp.5,72 triliun
  1. Pajak kripto : Rp.1,55 triliun
  • 2022: Rp.246,45 milyar
  • 2023: Rp.220,83 milyar
  • 2024: Rp.620,4 milyar
  • 2025: Rp.462,67 milyar
  1. Pajak fintech : Rp.3,88 triliun
  • PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) : Rp.1,09 triliun
  • PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN): Rp.724,25 milyar
  • PPN DN atas setoran masa : Rp.2,06 triliun
  1. Pajak yang dipungut pihak lain melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah : Rp.3,53 triliun
  • PPh: Rp239,21 miliar
  • PPN: Rp3,29 triliun

Pemerintah sudah menunjuk 223 perusahaan sebagai pemungut PPN PMSE hingga Juli 2025. DJP juga telah memberikan siaran pers yang menjelaskan pandangan DJP atas kriteria tersebut.

Pendapatan Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi DKI Jakarta hingga Juli 2025 mencapai Rp.31,52 triliun atau 58,8% dari target APBD Rp.54,18 triliun, dengan kontribusi terbesar dari pajak daerah sebesar Rp.25,57 triliun. Sumber PAD lainnya meliputi retribusi daerah Rp.702,2 milyar, hasil pengelolaan kekayaan daerah Rp.333,1 milyar, dan PAD sah lainnya Rp.2,91 triliun. Adapun Pemprov DKI Jakarta mencatatkan berbagai jenis pajak yang menjadi penerimaan pajak daerah adalah sebagai berikut :

  1. PBB-P2 sebesar Rp.9 triliun
  2. PKB sebesar Rp.5,6 triliun
  3. BBN-KN sebesar Rp.2,9 triliun
  4. BPHTB sebesar Rp.2,8 triliun
  5. Makanan dan/atau minuman sebesar Rp.2,6 triliun
  6. Jasa perhotelan sebesar Rp.1,1 triliun
  7. PBB-KB sebesar Rp.1 triliun
  8. Pajak reklame sebesar Rp.647,5 milyar
  9. Pajak rokok sebesar Rp.541,7 milyar
  10. Tenaga listrik sebesar Rp 517,1 milyar
  11. Kesenian dan hiburan sebesar RP.343,4 milyar
  12. Jasa parkir sebesar Rp.183,5 milyar
  13. Pajak Air Tanah sebesar Rp.41,4 milyar
  14. Pajak Alat Berat sebesar Rp.260,5 juta

Shadow Economy

DJP Kemenkeu akan mulai menertibkan shadow economy atau aktivitas ekonomi pada 2026, sesuai strategi dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026. Ada sejumlah ciri usaha yang dikategorikan sebagai shadow economy dan akan menjadi sasaran penertiban pajak, yaitu :

  1. Usaha dengan omzet lebih dari Rp500 juta per tahun, namun belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
  2. Perdagangan bernilai tinggi yang tidak pernah dilaporkan ke otoritas pajak.
  3. Sektor ekonomi besar yang beroperasi aktif, tetapi belum tercatat dalam sistem administrasi perpajakan.

Pemerintah juga sudah menargetkan sektor-sektor yang dinilai berpotensi shadow economy, seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, emas, serta perikanan. Langkah ini bertujuan mewujudkan keadilan perpajakan dan memaksimalkan potensi penerimaan pajak Rp.2.357,71 triliun tanpa menaikkan tarif pajak, seperti ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Bea Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK)

Kebijakan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) akan mulai diterapkan pada 2026 setelah penetapan tarif dikonsultasikan dengan DPR. Selain itu, akan diberlakukan kebijakan cukai hasil tembakau, intensifikasi bea masuk perdagangan internasional, serta biaya keluar untuk hasil SDA seperti batu bara dan emas. Pada 2026, akan diterapkan penegakan hukum terhadap barang kena cukai ilegal dan peningkatan pengawasan impor juga menjadi fokus. Total penerimaan negara 2026 disepakati sebesar Rp.3.147,7 triliun, dengan penerimaan perpajakan Rp.2.692 triliun yang terdiri dari pajak Rp.2.357,7 triliun, kepabeanan dan cukai Rp.334,3 triliun, PNBP Rp.455 triliun, dan hibah Rp.0,7 triliun.

Komentar Pembaca