Bebas Akses
Dalam sepekan ini terdapat berita dan informasi perpajakan di Indonesia yang menarik dan penting antara lain :
Penerimaan Pajak
Pemerintah melaporkan penerimaan pajak nasional hingga akhir Juli 2025 baru terkumpul Rp.989,17 triliun dan masih jauh dari target yang ditetapkan dalam APBN 2025. Realisasi ini baru setara 45,18% dari target sebesar Rp 2.189,3 triliun dan juga mengalami penurunan sebesar 5,37% secara neto. Kementerian Keuangan memperkirakan penerimaan pajak hingga akhir tahun 2025 tidak akan mencapai target. Dalam Laporan Semester I-2025, pemerintah memproyeksikan penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp.2.076,9 triliun atau 94,9% dari target APBN, yang diakibatkan tingginya restitusi pajak, pelemahan harga komoditas, dan pembatasan kenaikan tarif PPN 12% hanya pada barang mewah.
Penerimaan Pajak Digital
DJP Kemenkeu sudah mengantongi penerimaan pajak digital per 31 Juli 2025 sebesar Rp.40,02 triliun, yang meliputi 4 (empat) sektor digital yaitu pajak kripto, pajak fintech, PPN PMSE, dan pajak SIPP. Dengan rincian yang telah diterima sebagai berikut :
Pemerintah sudah menunjuk 223 perusahaan sebagai pemungut PPN PMSE hingga Juli 2025. DJP juga telah memberikan siaran pers yang menjelaskan pandangan DJP atas kriteria tersebut.
Pendapatan Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi DKI Jakarta hingga Juli 2025 mencapai Rp.31,52 triliun atau 58,8% dari target APBD Rp.54,18 triliun, dengan kontribusi terbesar dari pajak daerah sebesar Rp.25,57 triliun. Sumber PAD lainnya meliputi retribusi daerah Rp.702,2 milyar, hasil pengelolaan kekayaan daerah Rp.333,1 milyar, dan PAD sah lainnya Rp.2,91 triliun. Adapun Pemprov DKI Jakarta mencatatkan berbagai jenis pajak yang menjadi penerimaan pajak daerah adalah sebagai berikut :
Shadow Economy
DJP Kemenkeu akan mulai menertibkan shadow economy atau aktivitas ekonomi pada 2026, sesuai strategi dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026. Ada sejumlah ciri usaha yang dikategorikan sebagai shadow economy dan akan menjadi sasaran penertiban pajak, yaitu :
Pemerintah juga sudah menargetkan sektor-sektor yang dinilai berpotensi shadow economy, seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, emas, serta perikanan. Langkah ini bertujuan mewujudkan keadilan perpajakan dan memaksimalkan potensi penerimaan pajak Rp.2.357,71 triliun tanpa menaikkan tarif pajak, seperti ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Bea Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK)
Kebijakan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) akan mulai diterapkan pada 2026 setelah penetapan tarif dikonsultasikan dengan DPR. Selain itu, akan diberlakukan kebijakan cukai hasil tembakau, intensifikasi bea masuk perdagangan internasional, serta biaya keluar untuk hasil SDA seperti batu bara dan emas. Pada 2026, akan diterapkan penegakan hukum terhadap barang kena cukai ilegal dan peningkatan pengawasan impor juga menjadi fokus. Total penerimaan negara 2026 disepakati sebesar Rp.3.147,7 triliun, dengan penerimaan perpajakan Rp.2.692 triliun yang terdiri dari pajak Rp.2.357,7 triliun, kepabeanan dan cukai Rp.334,3 triliun, PNBP Rp.455 triliun, dan hibah Rp.0,7 triliun.